Seperti ibadah yang lainnya, umroh juga punya larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan saat menjalani ibadah tersebut. Umroh dan haji yang merupakan ibadah ihrom memiliki larangan yang sama.
Ihrom sendiri secara bahasa artinya “Pengharaman”, dapat dimaknai pengharaman terhadap beberap hal. Pengharaman ini berakhir dengan proses yang dinamakan tahallul, artinya “Penghalalan”.
Jadi, selama umroh atau haji sejak Anda berniat ihrom di miqot, Anda tidak diperbolehkan melakukan beberapa hal yang dilarang. Antara lain larangan umroh seperti menggunakan pakaian sehari-hari, memakai minyak wangi, bersetubuh dengan suami/istri, dan beberapa lainnya.
Hal ini bisa disamakan dengan ibadah sholat. Sebelum kita sholat maka kita boleh berbicara dengan orang lain, boleh bergerak kesana dan kemari, boleh tidak menghadap kiblat, boleh makan dan boleh minum.
Namun sesudah kita bertakbiratul ihram, maka semua itu menjadi haram tidak boleh dilakukan, hingga kita telah melakukan tahallul dalam sholat yaitu dengan mengucapkan salam.
Larangan umroh pertama yakni mencabut atau mencukur ini mencakup rambut kepala, bulu ketiak, bulu kemaluan, bulu di badan, bulu hidung, kumis, dan jenggot. Larangan ini difirmankan oleh Allah dalam Al Quran surah Al Baqoroh ayat 196, yang berbunyi,
وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
Artinya: Janganlah kalian mencukur rambut-rambut kalian sampai hewan hadyu tiba pada tempatnya, barang siapa diantara kalian ada yang sakit atau gangguan dikepalanya (lalu dia bercukur) maka wajib baginya membayar fidyah, yaitu puasa tiga hari atau sedekah (memberi makan kepada enam orang fakir miskin) atau nusuk (menyembelih kambing). (QS Al-Baqoroh : 196)
Namun terkadang kita tidak berniat mencabut rambut atau bulu lain, hanya saat menggaruk kepala rambut itu rontok, atau saat tidur ada alis yang rontok. Hal tersebut menjadi pengecualian atau tidak mengapa, berdasarkan pendapat ulama terdahulu seperti Imam Malik dan Ibnu Taimiyyah.
Al-Imam Malik meriwayatkan dari ibunya ‘Alqomah ia berkata:
“Aku mendengar Aisyah (istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) ditanya tentang seorang yang ihram apakah boleh menggaruk badannya?”.
Maka Aisyah berkata, “Iya, maka hendaknya ia garuk, dan keras garuknya. Seandainya kedua tanganku diikat dan aku tidak bisa kecuali dengan kedua kakiku maka aku akan menggaruk dengan kedua kakiku.” (Al Muwatto’ Imam Malik 93)
Ibnu Taimiyyah berkata :
“Dan demikian pula jika ia mandi lalu tercabut/gugur sebagian rambut/bulu nya maka tidak mengapa.” (Majmuu’ Al-Fataawa 26/116)
Jika yang dipotong adalah seluruh rambut maka para ulama telah sepakat bahwa ia harus membayar fidyah. Namun jika yang sengaja dicabut satu-dua helai, maka itu adalah dosa namun ada khilaf di kalangan para ulama tentang hukumannya.
Setelah dilarang memotong bulu, larangan umroh selanjutnya adalah jamaah juga dilarang memotong kuku saat melaksanakan ibadah umroh. Para ulama terdahulu sepakat, bahwasanya orang yang sedang ihram, dilarang untuk memotong kukunya.
Larangan ini dikuatkan dengan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Jika kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan seorang diantara kalian hendak berkurban, maka hendaknya dia tidak mencukur rambutnya dan tidak memotong kukunya.” (HR Msulim no 1977)
Sabda Nabi ini berlaku bagi orang yang hendak berkurban, dan para ulama menyebutkan bahwa orang yang berkurban dilarang untuk memotong rambut dan kuku adalah untuk meniru orang yang ihram dari sebagian sisi. Jika orang yang berkurban dilarang untuk memotong kuku, tentunya yang sedang ihram lebih utama untuk dilarang
Kuku di sini mencakup kuku kedua tangan dan kuku kedua kaki. Para ulama sepakat bahwa jika kuku yang pecah maka boleh dipotong karena mengganggu tanpa harus membayar fidyah sama sekali.
Jika seorang yang sedang ihram sengaja memotong seluruh kuku kedua tangannya maka para ulama telah sepakat bahwa ia wajib membayar fidyah. Akan tetapi jika yang sengaja ia potong adalah satu sampai tiga kuku maka ada perbedaan di kalangan para ulama.
Sebagian ulama (yaitu madzhab Hanafiyah) berpendapat bahwa tidak wajib fidyah kecuali semua kuku kedua tangannya ia potong, karena tidak ada dalil yang menyuruh membayar fidyah.
Baca Juga Informasi Seputar umroh 2023/2024 di Zahara Tour Jakarta
Bagi Anda yang sudah niat ihram umroh di miqot, tidak diperbolehkan menggunakan parfum, baik ditubuhnya maupun di pakaian ihromnya. Hal ini disampaikan oleh Rasulullah salallahu’alayhi wa sallam dalam hadit-hadistnya.
Rasulullah salallahu’alayhi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian memakai baju atau kain yang terkena za’farān atau wars.” (HR Bukhari no 5803)
Za’farān dan wars adalah nama-nama minyak wangi yang ada sejak dahulu hingga saat ini.
Demikian pula dalam hadīts, Rasulullah salallahu’alayhi wa sallam menyebutkan, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumma, dia berkata:
“Ada seorang lelaki bersama Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam berhaji namun dia terlempar (terjatuh) dari untanya (terinjak untanya) kemudian dia meninggal dan dia dalam keadaan ihram, maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkata, “Mandikanlah mayatnya dengan air dan daun bidara dan kafankanlah dia dengan dua bilah bajunya, jangan kalian sentuhkan dia dengan minyak wangi, dan jangan kalian menutup kepalanya (tatkala dikafankan) karena dia akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam kondisi bertalbiah” (HR Bukhāri no 1851 dan Muslim no 1206)
Kondisi orang yang berihram ada dua:
Pertama, sebelum Anda berihram.
Ketika persiapan untuk berihram menuju miqot masing-masing. Saat ini Anda masih boleh memakai minyak wangi dibadan atau dikepala atau dirambutnya, tetapi tidak boleh di kain ihromnya.
Pendapat ini didasari hadist Asiyah radyallahu’anha, yang berkata:
“Aku memakaikan minyak wangi kepada Rasulullah salallahu’alayhi wa sallam tatkala beliau hendak berihram, aku juga memakaikan minyak wangi setelah Nabi bertahallul (yaitu tahallul awal setelah beliau melempar jamroh dan mencukur rambut-pen) sebelum beliau berthawāf di Kakbah.” (HR Bukhāri no 1539 dan Muslim no 2040)
Dari hadist ini jelas bahwa Aisyah radyallahu’anha memberikan minyak wangi kepada Nabi sebelum berihram. Lalu Aisyah juga pernah berkata dalam hadist lain,
“Seakan-akan aku melihat ada kilatan bekas minyak rambut di bagian belahan rambut kepala Nabi salallahu’alayhi wa sallam tatkala beliau sedang ihram.” (HR Muslim no 1190)
Ini adalah dalīl bahwasanya minyak wangi yang dipakai sebelum ihram tidak mengapa tersisa meskipun telah berihram, yang penting memakainya sebelum berihrom. Apabila setelah Anda menggunakan kain lalu kainnya kena minyak wangi yang ada dibadannya maka ini tidak terlarang, yang dilarang adalah jika dia menumpahkan minyak wangi di kain ihram secara langung.
Kedua, sesudah berihram.
Yaitu sudah memulai ibadah umroh atau haji yang ditandai dengan melakukan niat ihrom di miqot, mengatakan, “Labaik Allāhumma umrah,” atau, “Labaik Allāhumma hajjan,” maka tidak boleh lagi menggunakan minyak wangi, baik di baju maupun di badan.
Mengapa setelah seseorang berihram tidak boleh menggunakan minyak wangi? Para ulama terdahulu mengatakan orang yang ber ihram tidak dituntut untuk bergaya atau berhias, tetapi fokus pada kualitas ibadahnya. Selain itu minyak wangi merupakan sesuatu yang sangat mudah menggerakan syahwat manusia ke arah jima” (bersetubuh). Sedangkan jima” sangat dilarang saat ibadah haji maupun umroh.
Namun sabun mandi tidak termasuk dalam minyak wangi yang tersirat di hadist. Jika Anda menggunakan sabun yang bukan bau minyak wangi, tetapi hanya aroma sabun,seperti sabun umrah, hal ini diperbolehkan saat umroh atau haji.
Larangan ihram berikutnya ialah larangan menutup kepala secara langsung, khusus untuk laki-laki. Maksud dari secara langsung ialah menggunakan topi, kopiah, songkok atau sorban. Sedangkan jika menggunakan payung atau berkemah, yang berjarak dari kepalanya, itu tidak mengapa berasarkan hadist Nabi.
Bagi wanita tentu diperbolehkan untuk menutup kepala dengan jilbab atau kerudung syar’i. Namun, dilarang bagi wanita adalah memakai cadar dan sarung tangan.
Nabi salallahu’alayhi wa sallam bersabda:
“Seseorang yang sedang ihram tidak boleh memakai gamis dan jubah, juga tidak boleh memakai imamah (sorban).” (HR Bukhori no1842 dan Muslim no 1177)
Demikian juga hadits sahabat Ibnu Abbas yang telah disebutkan, tentang kisah seorang yang terjatuh dari untanya kemudian terinjak dan meninggal dunia. Rasulullah salallahu’alayhi wa sallam mengatakan dalam hadits tersebut tentang jasad mayatnya saat dikafankan, dilarang menutup kepalanya.
Rasulullah salallahu’alayhi wa sallam, mengatakan:
“Janganlah kalian menutup kepalanya” (HR Bukhāri no 1851 dan Muslim no 1206)
Ini dalīl bahwasanya seseorang tatkala sedang ihram tidak boleh menempelkan kepalanya dengan sesuatu, seperti jika ia menutup kepalanya dengan kain ihramnya.
Sedangkan yang tidak menempel seperti payung atau tenda kemah, dijelaskan dalam hadist sahabat Jabir ibn Abdillah, ketika menjelaskan perjalanan haji Nabi,
“Dan Nabi memerintahkan untuk ditegakan kemah baginya di Namiroh (di Arofah)….lalu Nabi mendapati kemah telah ditegakkan untuk beliau di Namiroh maka Nabi pun singgah di kemah tersebut hingga tiba waktu dzuhur lalu beliau memerintahkan untuk mempersiapkan unta beliau Al-Qoswaa” (HR Muslim no 1218)
Lelaki yang sedang ihram tidak boleh memakai pakaian yang dijahit yang membentuk potongan tubuh manusia seperti qomis (jubah), sirwal (celana), khuf (sepatu), kaos kaki, kaos dalam, celana dalam, dan yang lainnya.
Larangan ini dijelaskan dalam hadist sahabat Ibnu ‘Umar, yang berkata berkata:
Ada seorang bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, pakaian apa yang boleh dipakai oleh seorang yang sedang ihram?”.
Rasulullah salallahu’alayhi wa sallam bersabda, “Orang uyang ihram tidak boleh memakai baju Jubah, surban, celana panjang, baranis (pakaian yang diletakan dibagian pundak dan ada tutup kepalanya) dan tidak boleh pakai khuf (sepatu) kecuali seseorang yang tidak mempunyai sandal, kalau tidak punya sandal maka dia boleh memakai sepatu dengan syarat sepatu tersebut dipotong sampai di bawah mata kaki. Tidak boleh memakai baju yang tercampur dengan minyak wangi za’faran dan wars.” (HR Bukhāri no 1842 dan Muslim no 1177)
Dalam hadist ini Rasulullah salallahu’alayhi wa sallam melarang memakai baju yang di jahit membentuk anggota tubuh. Adapun pakaian yang tidak dijahit tetapi membentuk bagian tubuh tetap tidak diperbolehkan. Rasulullah tidak pernah berbicara tentang masalah jahitan, tapi mengatakan tidak boleh pakai jubah, celana panjang, surban, burnus, khuf dan lainnya. Jadi jika Anda menggunakan pakaian ihram atau sandal yang ada jahitan, maka tidak mengapa.
Larangan umroh selanjutnya adalah para jamaah umroh dan haji dilarang berburu hewan buruan darat. Hewan buruan darat adalah hewan yang sering diburu di darat (liar), seperti rusa. Sedangkan hewan ayam, kambing, sapi, dan onta itu bukanlah hewan buruan.
Hewan laut juga tidak mengapa diburu, seperti ikan. Sehingga ketika Anda sedang ihram kemudian menangkap ikan maka tidak menjadi masalah.
Allah menjelaskan dalam firmannya, surah Al Maidah ayat 95:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ
Artinya: Wahai orang yang beriman, janganlah kalian berburu hewan buruan darat sementara kalian dalam kondisi ihram. (QS Al Māidah: 95)
Juga dalam ayat selanjutnya yang menerangkan tidak mengapa berburu ikan.
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Artinya: Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan. (QS Al-Maidah : 96)
Larangan ini berlaku bagi pria maupun wanita yang sedang ihrom. Rasulullah salallahu’alayhi wa sallam bersabda:
“Tidak boleh seseorang yang sedang ihram menikah, tidak boleh juga menikahkan dan tidak boleh juga melamar.” (HR Muslim no 1409)
Maka, tidak boleh melaksanakan akad nikah meskipun calon wanitanya tidak sedang ihram. Larangan ini meliputi tidak bolehnya Anda menikahkan orang lain, tidak boleh jadi wali, atau menjadi perwakilan dari wali untuk melangsungkan akad nikah, juga tidak boleh melamar seorang wanita ketika ihram.
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang seseorang yang sedang berihram, mendekati jima’ (bersetubuh). Allah berfirman:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ
Artinya: Sesungguhnya haji itu ada bulan-bulan yang telah diketahui, barangsiapa yang menetapkan hatinya untuk berhaji pada bulan-bulan tersebut maka tidak boleh melakukan rafats. (QS al Baqarah 197)
Rafats dalam bahasa ialah jima’ atau bersetubuh dan perkara-perkara yang mengarah mengantarkan kepada jima’. Demikian juga dengan hal-hal yang bisa membawa (mengantarkan) kepada syahwat, semuanya dilarang saat ihram, termasuk melakukan pernikahan juga minyak wangi.
Melakukan hubungan intim suami istri termasuk dalam jima’, seperti dijelaskan dalam surah Al Baqoroh ayat 197 yang tercantum di poin sebelumnya. Dalam hasdit tersebut jima’ disebutkan dalam kosa kata “rafats”.
Rafats ini mencakup:
Jima’ (berhubungan suami istri), mubasyarah (bercumbu, menikmati tubuh istri tapi tidak sampai pada hubungan badan), dan perkataan-perkataan atau perbuatan yang bisa mengantarkan pada jima’ seperti rayuan-rayuan, sentuhan-sentuhan dan sebagainya. Ini semua dilarang saat sedang melaksanakan ibadah haji dan umroh.